HARTA BERSAMA / GONO GINI
Oleh: A. Fajar Yulianto, S.H., M.H., CTL.
Direktur YLBH Fajar Trilaksana
Pengasuh Rubrik Kupas Hukum Mitrabrata News
Mitrabratanews.com – Sering kita dengar Harta Bersama / Gono Gini, sebetulnya apa artinya, berupa apa saja, dan bilamana timbul serta bagaimana cara mengajukan hak atas harta bersama/ gono gini tersebut.
Pertama, Harta bersama/ gono gini adalah semua asset bernilai ekonomi atau harta kekayaan yang di dapatkan atau diperoleh baik sendiri-sendiri maupun bersama sama selama dalam kurun waktu ikatan perkawinan tanpa mempermasalahkan kebendaan tersebut atas nama salah satu pihak ( baik atas nama Suami atau Istri), dan sepanjang tidak ada perjanjian pra perkawinan atau penjanjian pemisahan harta.
Kedua, sekarang berupa apa saja Harta bersama itu ?, berdasar pasal 91 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan pada pokok intinya:
1. Harta bersama berupa benda berwujud dan benda tidak berwujud.
2. Benda berwujud meliputi benda Bergerak (contohnya: perabot Rumah tangga, kendaraan, motor, mobil dan surat-surat berharga seperti Tabungan Bank, Deposito, Polis Asuransi, saham dan sejenisnya) dan benda tidak bergerak ( contohnya : tanah, rumah, gedung, bangunan dan sejenisnya).
3. Sedangkan benda yang tidak berwujud maka ini merupakan bentuk hak dan kewajiban (jasa) melakukan progress terhadap pihak ketiga.
4. Harta bersama yang nyata bernilai ekonomi dapat di jadikan Jaminan Hutang salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Dan apabila perkawinan ada perselisihan dan terjadi keadaan rumah tangga yang pecah dan kemudian Perceraian sebagai jalan terakhir, maka terhadap Harta bersama tersebut dapat di selesaikan di Pengadilan Agama jika sesama Muslim, dan ke Pengadilan Negeri bagi yang non Muslim. Dalam hal pengajuan perceraian maka dapat dilakukan secara bersamaan ( Gugat Cerai diikuti gugatan pembagian harta bersama).
Adapun Pembagian Harta bersama ini bagi orang Muslim berdasarkan pasal 97 KHI menyebutkan bahwa Janda atau duda cerai hidup masing masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Sedangkan Hutang yang timbul selama perkawinan untuk kepentingan Keluarga maka pertanggungjawaban pelunasan dibebankan pada harta bersama, artinya harus dipertnggungjawabkan secara bersama sama (dibebankan kedua belah pihak diambil dari Harta bersama, setelah pelunasan maka baru dibagi bersih masing-masing seperdua bagian masing-masing)
Perlu diperhatikan, khususnya selama proses persidangan maka salah satu pihak dilarang memindahtangan dengan cara bagaimanapun, menyewakan, menjual dan menghibahkan kepada pihak ke tiga tanpa persetujuan pihak lainya (Suami/Istri), dan jika hal ini terjadi maka terancam perbuatan tindak pidana Penggelapan karena baik seluruhnya dan/atau sebagian adalah masih berstatus Harta bersama dan milik bersama sebelum ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap.
Dan apabila dalam masa persidangan Cerai yang diikuti Gugatan Pembagian Harta bersama tersebut salah satu pihak dikawatirkan akan memindahtangankan/menggelapkan Harta tersebut maka dapat mengajukan Sita Jaminan kepada Pengadilan melalui Majelis Hakim yang memeriksa Perkara tersebut.